Cerpen Remaja
Pagi
berlalu seperti hari-hari kemarin. Tak ada sesuatu yang begitu istimewa. Hanya
ditemani setitik embun dan kertas putih, seputih ingatanku tentangmu.
Udara minggu ini begitu
menusuk kulit, entah apa yang difikirkan oleh lelaki yang memakai topi kupluk
itu. Ia berlari mengelilingi taman kota hanya dengan menggunakan kaos tipis dan
celana panjang.
“Lelaki itu…”
“Lelaki itu? Oh.. yang sedang
berolah raga itu?”
“Aneh…”
“Kenapa aneh? Wajar saja kalau
dia olahraga di lapangan kan?”
Aku terdiam. Ayu benar. Tapi,
bukan berarti di tengah hujan seperti ini kan? Gumamku dalam hati. Tetapi,
siapa lelaki itu,membuat aku penasaran.
Cinta.. benarkah kata itu ada? Ada di antara sepasang mata yang lara?
Hari
ini aku datang ke sebuah undangan yang ah.. menurutku tidak perlu aku datangi.
Sebuah pesan masuk. Intan, ada dimana? Hanya jawaban singkat, dan seorang
lelaki datang dengan mobil hitam.
“Terima kasih.”
“Aku yang berterima kasih.”
Aku memberi senyum dikulum. Ia lalu menggandeng tanganku. Benar dugaanku. Tak
ada sepasang matapun yang memalingkan pandangan dari kami.
Kemang, pukul 20.00
Semua larut dalam pesta malam
itu, kecuali aku. House music mulai
mengalun, Radit bergabung ke tengah, hanya ada tatapan mengajak. Aku menggeleng
pelan, senyum itu lagi. Entah mengapa aku tak pernah mengerti senyum yang kau
beri itu.
Deg…..
Aku
terkejut saat seorang lelaki menepuk pundakku. Ia tersenyum
“Aku pernah melihatmu di
sebuah cafĂ©. Nicky.” Katanya sejurus sambil mengulurkan tangannya.
“Intan…”
“Nama yang cantik, secantik
parasmu..” Aku tersenyum mendengar kata-katanya.
Lelaki yang sangat berbeda dengan Adit. “Boleh minta
nomor telepon?” Aku tersenyum lagi. Kertas kosong itu sudah terisi 12 angka
nomor teleponku. Ia pergi dnegan senyum puas. Adit datang dengan keringat
membasahi kemejanya. Kuakui, hari ini ia sangat tampan tapi…
“Ini sudah malam, ayo pulang.”
Ia tersenyum, menarik tanganku. Aku bisa merasakan tangan kekarnya memilin
jemari tanganku. Aku tetap diam, tak pernah mengartikan lebih sikapnya padaku.
Tidak biasanya jalan ini macet
saat petang. Lagu I Love You milik
penyanyi Avril Lavigne mengalun dalam mobil. Aku tahu Adit memandangku yang
tengah sibuk dengan keypad handphone.
Ia tersenyum, aku bisa merasakannya.
“Hallo” Kataku. Suara bass
terdengar jelas, aku yakin dia mendengar siapa yang meneleponku. Kami
bertatapan. Ayolah, jangan tatap aku dengan tatapan yang susah untukku
mengerti.
Ia mengecup lembut pipi kiriku
saat aku turun dari mobilnya. Aku mengulum senyumku yang pastinya palsu.
~~~
“Kau suka dengan wahana yang
menegangkan?”
Aku mengangguk. Kami sekarang
berada di puncak bianglala. Aku bisa merasakan angin membelai lembut pipiku.
“Nick, bisakah kita mampir ke
tempat itu?”
“My pleasure.”
Kami berhenti di sebuah tempat
makan sederhana. Tempat ini membuatku teringat kejadian 2 tahun yang lalu.
Kejadian sederhana saat Adit menyatakan perasaannya padaku.
“Tempat ini agak panas.”
Katanya sambil mengibaskan tangan nya. Aku tersenyum.
“Angin
di sini sangat sejuk, terkadang aku merasa angin di sini bisa membawa masalahku
pergi.”
“Kau sering kemari?”
Aku mengangguk pelan. Dia
lelaki yang manis, fikirku saat melihat wajahnya yang berkeringat.
Kami berjalan pelan, menyusuri
jalan setapak di pinggir danau buatan. Ia menggenggam tanganku. Aku menolak
halus genggaman tangannya.
“Apakah semua wanita itu susah
ditebak?”
“Tidak. Laki-lakilah yang
susah ditebak.”
“Tapi kenapa wanita tidak bisa
mencintai pria yang jelas-jelas ada di sisinya, menemaninya siang dan malam.”
Aku menatapnya dalam diam. Ia
lalu tersenyum.
“Aku akan katakan dengan
jujur. Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu.”
Aku tersentak karena
mendengarkan pernyataannya.
“Laki-laki yang di pesta itu kekasihmu,
kan? Apa kau mencintai pria itu?”
“Tentu saja. Kalau kau tidak
mencintainya, untuk apa aku menerimanya sebagai kekasihku?”
Mana mungkin sepasang kekasih
bersikap begitu dingin? Ucapannya membuatku semakin terpojok.
Dia benar. Kami bersikap
sangat dingin, bukan kami, tapi aku.
Aku harap kita bisa bertemu
seperti ini lagi, katanya saat mengantarku pulang.
Dia, yang datang tanpa ada rasa ragu, merengkuh tubuhku, pipi ini
bersemu. Adakah rasa itu?
Kami
berjalan bersama di danau itu lagi. Entah sudah berapa lama kami sering pergi
bersama, dan entah sudah berapa lama Adit susah kuhubungi. Rasanya hangat saat
bersamanya. Aku teringat Adit. Mengingat senyum dan tatapan matanya yang, ahh..
susah kujelaskan
“Kau sangat suka
mempermainkanku, Intan.” Katanya lalu mempersempit jarak di antara kami. Aku
melihatnya. Dia berbisik, entah apa yang kufiikirkan kala itu. Aku hanya
meng-ia-kan pertanyaannya. Ia lalu memelukku erat. Ya. Aku menkhianati Adit.
“Besok akan kujemput.” Katanya
lalu melambaikan tangan dan pergi. Langkahku terhenti saat kulihat Adit menaiki
sepedanya. Ia berhenti dan menatapku, perlahan aku naik ke sepedanya,
memeluknya erat.
“Harimu pasti sangat
melelahkan. Hari ini ada banyak kuliah
dan harus menemaniku kemari. Maaf.” Katanya lalu memilin jariku. Kebiasaan yang
sudah sangat kuhafal. Kau lalu tersenyum. Seperti biasa, aku hanya menatapmu
dan tak banyak bicara. Kali ini berbeda. Kau menatapku juga, membuat jarak di
antara kita sangat tipis. Perlahan kau sandarkan bibir merahmu di bibirku yang
gemetar.
Seandainya kau tahu apa yang
terjadi hari ini, mungkinkah kau akan bersikap manja seperti ini? Akankah kau
akan tetap tidur di pangkuanku seperti ini? Memelukku dan berkata sangat halus?
Bukankah kau tak pernah marah padaku. Tapi mengapa aku snagat ingin kau
membentakku?
Minggu pagi yang berawan saat
Nick datang dan memeluk pinggangku. Aku tersenyum dalam getir. Perasaan ini bak
terkurung seperti burung. Aku lalu berbalik, kulihat kau ada di sana. Melihatku
dengan tatapan itu, seolah tak ada amarah di wajahmu. Kau pergi dengan tenang,
bukan dengan suara motor yang melaju kencang.
Entah semenjak kapan aku mulai mengkhawatirkan engkau yang di sana.
Tanpa isyarat, diam-diam memberi sebuah luka di hati. Seolah tak akan kering,
semakin terluka setiap hari..
Sejak
saat itu, Adit jarang menghubungiku. Diam-diam aku merindukan senyuman,
tatapan, aroma tubuh dan bibir merahnya. Ia tak lagi bersikap sama. Seolah
pergi ditelan dunia. Aku lupa, dia dan Nick adalah dua sosok yang berbeda.
Adit, dia sangat pendiam. Tak ada yang pernah ia ceritakan, seolah-olah ia
ingin aku yang mencari bagaimana ia dan seperti apa dia. Berbeda dengan Nick.
Ia datang dengan sikapn arogannya. Mengatakan apa yang menjadi bagian dari
dirinya.
Plak… Lamunanku terhenti saat
seorang gadis semampai menampar pipiku. Ia sukses membuat seluruh pandangan
beralih ke arahku. Aku melihatnya tak mengerti. Nada sopran terus terdengar,
seolah memukul gendang telingaku. Wanita murahan, wanita gampangan. Itu yang
tertangkap telingaku. Perlahan semuanya gelap, seolah berganti dengan lirik
lagu yang sering dinyanyikan Adit untukku.
“Adit bilang tadi kamu
pingsan. Apa kamu baik-baik saja?” Aku terhenyak. Adit? Kenapa ia bisa ada di
sana, darimana ia bisa tahu aku ada di sana? Fikiranku sangat kalut saat itu.
Aku melangkah gontai ke sebuah rumah bercat krem dengan halaman yang sangat
kukenal.
“Kenapa kemari?” Aku hampir
menangis saat melihat tatapan teduh itu. Dasar bodoh! Kenapa masih bertanya
kalo kau sudah tahu apa yang aku tangisi? Kenapa masih pura-pura tidak tahu
kalau kau ternyata lebih tahu segalanya ketimbang aku? Apakah kau hanya bias
tersenyum dan menatapku seperti itu?
Aku terdiam. Tak ada satu
katapun yang terucap dari bibirku untuknya. Pelukannya semakin erat, baju kaos
abu-abunya itu sudah penuh dengan air mataku. Aku terdiam.
Aku bisa merasakan simfoni cinta dari lubuk hatinya. Hangat, sehangat
mentari yang menyinari embun di pagi hari..
“Maafkan aku…”
“Tak ada yang perlu dimaafkan.
Aku tahu kau tidak seperti yang wanita itu katakan.” Ia tersenyum lagi. Tak ada
yang kami bicarakan. Perlahan bulir bening itu berganti dengan senyum bahagia.
Dia tersenyum setulus itu
padaku. Aku hanya terdiam dalam pelukannya. Ia menyandarkan bibir itu lagi di
bibirku. Kali ini lebih hangat, diselingi pelukan.
Ia menggenggam tanganku erat,
mengajakku pulang.
“Kau tahu, apa yang
menyenangkan dari hari ini?”
“Apa?” aku tak mengerti.
“Selama 2 tahun ini, aku tak
pernah melakukan ini….”
Cup..
Dia masih tetap sama, tak
pernah bisa untuk ditebak. Seperti hujan yang belum tentu datang setiap
harinya, tapi satu yang kuyakini ia yang akan tetap kucintai sampai kapanpun.
Komentar
Posting Komentar