Kunang - Kunang dalam Bir
Hallo, lama menghilang. Seringan galau dan mengenang masa lalu.
Mau share salah satu cerpen favorite KOMPAS, eh maksudnya favorit versi saya ya.
Cerpen karya Agus Noor ini bener-bener sukses bikin terhenyuk dan arghhhh susah dijelaskan deh, apalagi kalo bacanya pas lagi patah hati dan lagi sensi beeuuu. sensasinya...
warning:
cerita ini menurut aku, sedikit membingungkan pada awalnya. tapi kalo dibaca dua kali pasti dapet.
Cerpen karya Agus Noor ini bener-bener sukses bikin terhenyuk dan arghhhh susah dijelaskan deh, apalagi kalo bacanya pas lagi patah hati dan lagi sensi beeuuu. sensasinya...
warning:
cerita ini menurut aku, sedikit membingungkan pada awalnya. tapi kalo dibaca dua kali pasti dapet.
Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat
senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di
atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa
dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini
terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you….
Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia
katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat
itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas
meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah
membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah
perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe
ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak
lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya,
selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi
keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir
ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu
tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Ia tak percaya bahwa dia akhirnya meneleponnya.
”Kok diam….”
”Hmmm.”
”Bisa kita ketemu?”
”Ya.”
”Tunggu aku,” dia terdengar berharap. ”Meski aku tak yakin bisa menemuimu.”
Tiba-tiba saja ia berharap kali ini takdir sedikit berbaik hati
padanya: semoga saja suaminya mendadak kena ayan atau terserang amnesia,
hingga perempuan yang masih dicintainya itu tak merasa cemas
menemuinya.
Menemui? Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah
berjumpa. Tapi untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang
masih berharga dari ciuman-ciuman masa lalu itu? Masa yang harusnya
mereka jangkau dulu. Dulu, ketika ia masih mengenakan seragam putih
abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut
tergerai hingga di atas dada. Ketika ia yakin, ia tak mungkin bahagia
tanpa dirinya.
Ah, ia jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara ciuman-ciuman yang terasa gemetar dan malu-malu.
”Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma sepasang kunang-kunang.”
Dia tersenyum, kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.”
”Kalau begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi kunang-kunang, yang setiap malam mendatangi kamarmu….”
”Hahaha,” dia tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi kunang-kunang?”
”Aku akan hinggap di dadamu.”
Dada yang membusung. Dada yang kini pasti makin membusung karena
sudah dua anak menyusuinya. Pun dada yang masih ia rindu. Dada yang
sarat kenangan. Dada yang akan terlihat mengilap ketika seekor
kunang-kunang hinggap di atasnya.
”Kunang-kunang…mau ke mana? Ke tempatku, hinggap dahulu….”
Ia bersenandung sambil membuka satu per satu kancing seragam. Dia
yang hanya memejam. Ia seperti melihat seekor kunang-kunang yang
perlahan keluar dari kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada
kunang-kunang di keningnya. Di pipinya. Di hidungnya. Di bibirnya. Di
mana-mana. Kamar penuh kunang- kunang beterbangan. Tapi tak ada satu pun
kunang-kunang hinggap di dadanya pualam. Dada itu seperti menunggu
kunang-kunang jantan.
Ia selalu membayangkan itu. Sampai kini pun masih terus
membayangkannya. Itulah yang membuatnya masih betah menunggu meski gelas
bir ketiga sudah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan dia
tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuat ia selalu betah menunggu meski
penyanyi itu telah terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang ia
pesan.
Ia hendak melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan segelas
bir, ketika dilihatnya seekor kunang-kunang terbang melayang memasuki
kafe. Kemudian kunang-kunang itu beterbangan di sekitar panggung. Di
sekitar kafe yang ingar bingar namun terasa murung. Murung menapak
geliat lidah pada tiap jeda tubuhnya. Murung mengharap tiap geliat di
liat tubuhnya mengada. Lagi. Di sini. Menjadi nanti.
Adakah kunang-kunang itu pertanda? Adakah kunang-kunang itu hanya
belaka imajinasinya? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai
muncul dari kehampaan. Dan kafe yang ingar ini makin terasa murung.
Tiba-tiba ia menyaksikan ribuan kunang-kunang muncul dari balik
keremangan, beterbangan memenuhi panggung. Hingga panggung menjadi
gemerlapan oleh pendar cahaya kunang-kunang yang berkilau kekuningan.
Gelas birnya sudah tidak berbusa. Hanya kuning yang diam. Tidak
seperti kunang-kunang beterbangan gemerlapan berpendar kekuningan.
Kuning di gelas birnya mati. Sementara kuning di luar birnya gemerlapan.
Hidup. Ia jadi teringat pada percakapan mereka dulu. Dua hari sebelum
dia memilih hidupnya sendiri. Percakapan tentang bir dan kunang-kunang.
”Aku menyukai bir, seperti aku menyukai kunang-kunang,” ia berkata,
setelah ciuman yang panjang. ”Warna bir selalu mengingatkanku pada
cahaya kunang-kunang. Dan kunang-kunang selalu mengingatkanku kepadamu.”
”Kenapa?”
”Karena di dalam matamu seperti hidup ribuan kuang-kunang. Aku selalu
membayangkan ribuan kunang-kunang itu berhamburan keluar dari matamu
setiap kau merindukanku.”
”Tapi aku tak pernah merindukanmu.” Dia tersenyum.
”Bohong….”
”Aku tak pernah membohongimu. Kamu yang selalu membohongiku.”
Ia memandang nanar. Seolah tidak yakin apa yang ia dengar salah atau
benar. Bohong baginya adalah dusta yang direncanakan. Sementara apa yang
ia lakukan dulu adalah pilihan. Dan pilihan hanyalah satu logika yang
terpaksa harus diseragamkan. Oleh banyak orang. Olehnya….
”Tidak. Aku tidak bohong.”
”Semakin kau bilang kalau kau tidak bohong, semakin aku tahu kalau kamu berbohong.”
Ia tak menjawab. Tapi bergegas menciumnya. Rakus dan gugup. Begitulah
selalu, bila ia merasa bersalah karena telah membohonginya. Seolah
ciuman bisa menyembunyikan kebohongannya. Tapi ia tak bohong kalau ia
bilang mencintainya. Ia hanya selalu merasa gugup setiap kali nada
suaranya terdengar mulai mendesaknya. Karena ia tahu, pada akhirnya,
setelah percakapan dan ciuman, dia pasti akan bertanya: ”Apakah kau akan
menikahiku?”
Ia menyukai ciuman. Tapi, sungguh, ia tak pernah yakin apakah ia
menyukai pernikahan. Kemudian ia berteka-teki: ”Apa persamaan bir dengan
kunang-kunang?” Dia menggeleng.
Keduanya akan selalu mengingatkanku padamu. Bila kau mati dan
menjelma jadi kunang-kunang, aku akan menyimpanmu dalam botol bir. Kau
akan terlihat kuning kehijauan. Tapi kita tak akan pernah tahu bukan,
siapa di antara kita yang akan menjadi kunang-kunang lebih dulu? Kita
tak akan pernah bisa menduga takdir. Kita bisa meminta segelas bir,
tetapi kita tak pernah bisa meminta takdir.
Seperti ia tak pernah meminta perpisahan yang getir.
”Aku mencintaimu, tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu….”
Hidup pada akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian
masing-masing. Sama seperti kematian. Semua akan mati karena itulah
hukuman yang sejak lahir sudah manusia emban. Tapi manusia tetap bisa
memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar ataupun bunuh diri. Dengan
usia atau cinta. Dengan kalah atau menang?
Pada saat ia tahu, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling ia
cintai itu benar-benar menikah—bukan dengan dirinya—pada saat itulah ia
menyadari ia tak menang, dan perlahan-lahan berubah menjadi
kunang-kunang. Kunang-kunang yang mengembara dari kesepian ke kesepian.
Kunang-kunang yang setiap malam berkitaran di kaca jendela kamar
tidurnya. Pada saat itulah ia berharap, dia tergeragap bangun, memandang
ke arah jendela, dan mendapati seekor kunang-kunang yang bersikeras
menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa kunang-kunang itu ingin
hinggap di dadanya. Sementara suaminya tertidur pulas di sampingnya.
”Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan gampang ketimbang aku menikah denganmu.”
Itulah yang diucapkannya dulu, di kafe ini, saat mereka terakhir bertemu.
”Jangan hubungi aku!”
Lalu dia menciumnya. Lama. Bagi ia, ciuman itu seperti harum bir yang pernah terhapus dari mulutnya.
Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri
dengan pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia
menamparnya sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang laki-laki
bajingan!” Atau kata-kata sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah
ciuman yang tak mungkin ia lupakan.
Dan kini, seperti malam-malam kemarin, ia ada di kafe kenangan ini.
Kafe yang harum bir. Kafe yang mengantarkannya pada sebuah ciuman
panjang di bibir. Kafe yang selalu membuatnya meneguk kenangan dan
kunang-kunang dalam bir. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu
kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang
seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan
segalanya menjadi getir. Tapi benarkah ini memang gelas terakhir, jika
ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima?
Ini gelas bir keenam!
Dan ia masih menunggu. Ia melirik ke arah penyanyi itu, yang masih
saja menyanyi dengan suara sendu. Ia melihat pelayan itu sudah setengah
mengantuk. Tinggal ia seorang di kafe. Barangkali, bila ia bukan
pelanggan yang setiap malam berkunjung, pasti pelayan itu sudah
mengusirnya dengan halus. Sudah malam, sudah tak ada lagi waktu buat
meneguk kenangan.
Pada gelas kedelapan, akhirnya ia bangkit, lalu memanggil pelayan dan
membayar harga delapan gelas kenangan yang sudah direguknya habis. Ya,
malam pun hampir habis. Sudah tak ada waktu lagi buat kenangan. Sudah
tidak ada kenangan dalam gelas bir kedelapan. Setiap kenangan, pada
akhirnya punya akhir bukan? Inilah terakhir kali aku ke kafe ini,
batinnya. Besok aku tak akan kembali. Kemudian ia beranjak pergi.
***
Malam makin mengendap. Tamu terakhir sudah pergi. Diam dan setengah
mengantuk, para pelayan kafe membereskan kursi. Bartender merapikan
gelas-gelas yang bergelantungan. Sebentar lagi penjaga malam akan
menutup pintu.
Pada saat itulah, terlihat seekor kunang-kunang memasuki kafe.
Kunang-kunang itu terbang melayang berputaran, sebelum akhirnya hinggap
di gelas bir yang telah kosong.
Jakarta, Coffeewar,
8/26/10 12:38:25 AM
Komentar
Posting Komentar