Cerpen Cinta dua kelopak krisan
DUA KELOPAK KRISAN
Oleh Pringadi Abdi Surya
Yang mungkin kuingat hanyalah derai hujan
malam minggu itu, yang terdengar seperti
detik jam dinding yang jatuh satu persatu dari langit, berusaha menyerang kita
–seperti kesepian.
|
Aku tak sanggup membaui pohon-pohon bintaro
(yang konon beracun) yang berbaris rapi, menghormat dengan tegap dan gagah,
tapi baud an embusan nafasmu yang terasa karib, tangan yang kokoh yang
memayungi aku, membiarkan tubuhmu sendiri dihujani air-air sulfat itu-entahlah,
seperti cinta saja yang nyata-nyata telah mematahkan hatiku (bukan karenamu,
tapi dia).
Sengaja
aku menerima tawaranmu untuk singgah di Jurangmangu. Hanya alasan ketika
kukatakan aku takut pulang sendirian ke Serpong, kereta sudah tak lewat,
bus-bus biasanya sepi penumpang dan memungkinkan perempuan sepertiku
‘dijahili’ meski tanpa rok mini. Kau dengan cekatan segera mengatakan “Tidur
saja di tempat temanku. Perempuan. Nanti aku minta izin ke mereka..”
Aku
tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan perasaanku yang ingin rebah di
dadamu bukan karena cinta atau kekasih, tapi kau seperti pelabuhan dan dia
seolah menara. Kau tak marah melihat aku acap kali gelisah menekan tombol keypad ponselku dan suara laki-laki
(aku yakin kau mendengarnya disebabkan kemampuan auditorium itu) menyambutku
dengan ketus, “Jangan telepon aku sekarang. Mas sedang memanjat tower!” Hanya
karena sebuah emnara (dan dia memang menara), aku seperti wisatawan yang baru
pertama datang ke Paris menyaksikan Eiffel menjulang angkuh di antara
kerumunan orang-orang. Bingung. Tak bias berbahasa Prancis, memakai ransel ala
backpacker, memegang peta dan
menengok ke segala penjuru seolah ingin memastikan, Hei Menara, apa kau
melihatku di sini?
Pelan-pelan,
dan sengaja memang kupelankan, aku ingin kau saja yang menyatakan cinta
kepadaku kali ini. Kau, penyair, pencinta hujan, momen mana lagi yang paling
romantis selain saat ini, selain kecupan yang kau daratkan dengan tiba-tiba
(meski aku akan menyadarinya), lalu memintaku jadi pacarnya. Aku akan emnjawab
“Ya” tanpa koma, melingkarkan kedua tanganku di pinggangmu dan tak peduli
bilapun seluruh daun, seluruh hujan, seluruh udara mala mini cemburu.
Pelabuhanku. Pelarianku. Sebuah kapal yang tertambat di sana, aku tak peduli
jikapun kau hanya sekoci, kemudian membawaku pergi ke samudra lain, ke pulau
lain, ke pemandangan yang menawarkan camar-camar lain, lumba-lumba lain yang
tak akan sanggup menumbangkan laju biduk cinta milik kita.
Tapi
kau selalu diam, seperti tak ada kata yang sanggup mengungkapkan perasaan yang
ah, sudahlah, perempuan mana yang tak bias mengetahui laki-laki yang jatuh
cinta dan mencintainya? Aku sudah sejak dulu tahu, kau menaruh hati kepadaku.
Kau yang lebih sering mendengarkan telepon-teleponku berjam-jam lamanya, menjemputku
di BSD menemani setiap acara sastra yangmelibatkanku sebagai pembaca puisi.
Aku tak pernah menyaksikanmu membaca puisi, tapi aku tahu kau menyukai pembacaanku.
Jurangmangu.
Pukul 11 malam. Tapi tak ada pelukan.
Kau
malah menunjuk ke Santiago Berdebu (lapangan sepak bola di depan Mesjid yang
tak pernah ditumbuhi rumput, dan bila dimainkan debu-debu akan beterbangan
seiring langkah-langkah yang ditapakkan), kemudian bercerita nyaris setiap
malam ada berpasang kekasih yang memadu cinta di sekitarnya. Bahkan, katamu
lagi, pernah ada yang gelap-gelapan bercumbu atau malah bercinta di sana.
“Tapi jelas tak mungkin dalam ekadaan hujan begini,” kau menambahkan sambil
menatap mataku dalam. Ayolah, cium aku saat ini. Cium aku agar aku dapat
melupakan lelaki itu, lelaki yang jelas-jelas telah memiliki perempuan lain
namun mengatakan cinta padaku. Bodohnya aku seperti mangsa yang terjerat di
jarring laba-laba menunggu dia melahapku. Pasrah
Hanya
kau barangkali, yang kukenal karib, seperti tanpa pamrih mendekatiku dengan
hati-hati, enggan menyentuhku, bahkan menggenggam tanganku erat pun tak
pernah.
“Aku
menyukai perempuan yang tak memiliki bekas bibir orang lain di bibirnya.”
“Kau
menyukai Hamsad Rangkuti? Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku
dengan bibirmu?”
“Ya.
Dan tidak.”
“Maksudmu?”
“Aku
menyukai Bibir dalam Pispot sebagai sebuah fiksi. Tapi, aku tak menyukai
perempuan yang pernah berciuman dengan laki-laki lain.”
“Lalu
menurutmu apa aku sudah pernah memiliki bekas bibir lelaki di bibirku?” aku
bertanya memancing.
Kau
diam sebentar sebelum balik bertanya,”Lalu bagaimana rasanya?”
“Aku masih 18 tahun.”
“Aku juga 19 tahun.”
“Aku tidak bertanya umurmu. Aku hanya
bermaksud mengatakan perempuan mana yang sudah berciuman di usianya yang
ke-18?”
“Tapi
rata-rata kita ingin mendapatkan ciuman pertamanya di usia ke-17”
“Kamu
sendiri?”
“Menurutmu?”
Apa
rata-rata mahasiswa STAN sepintar dirimu, terutama dalam memutarbalikkan
perasaan?
Aku
bukan perempuan bodoh. Tapi, setiap berbicara denganmu aku merasa bodoh. Aku
bukan perempuan manja. Tapi, setiap berhadapan denganmu aku selalu ingin
menyandarkan diri ke dadamu yang bidang. Dan merasakan seberapa cepat detak
jantungmu berderap di telingaku. Aku ingin memilikimu, tapi aku tak
mencintaimu. Aku ingin kau selalu ada di sampingku, hanya milikku.
“Krisandi…”
Hanya
kau yang memanggilku dengan nama depan. “Kenapa kau memanggilku dengan nama
itu?”
“Krisanthemum.”
“Krisanthemum?”
“Dalam
bahasa Yunani, krisanthemum berarti bunga emas. Yang tertua dari mereka adalah
krisanthemum Cina, agak mirip dengan Daisy. Bunga ini telah dikultivasikan
2500 tahun sebelum diperkenalkan ke Eropa dan sekarang telah banyak ditanam di
mana-mana, bahkan krisan juga diangkat menjadi bunga nasional Negara Jepang.
Sebagai bunga potong, ia bias bertahan sampai lebih dari 2 minggu. Dan seperti
kelahiranmu, bunga krisan dijadikan sebagai bunga November, seperti batu
topaz. Menurut ilmu feng shui, krisan dapat membawa kebahagiaan dan tawa di
dalam keluarga. Ia juga bias berarti keceriaan, pesona, optimis, kelimpahan ,
keberuntungan, persahabatan dan cinta rahasia.”
“Wow,
apa ada yang tidak kau tahu?”
“Ada.”
“Apa?”
“Adakah
yang lebih pedih dari Sysyphus?”
“Sysyphus?”
“Sysyphus
barangkali adalah manusia yang paling menanggung kepedihan di dalam hidupnya.”
Teruskan.
“Jika
atas nama dosa dan pengorbanan, ia harus mendorong sebongkah batu ke atas
bukit, menggelinding dan mendorong lagi sepanjang hayatnya, apakah mencintai
juga harus sebegitu menderitanya?”
Aku
tak paham.
“Aku
begitu mudah jatuh cinta. Tapi aku tak pernah mencintai.”
Memang
tak pernah mudah mencernamu. Atas nama Hegel yang sering kau
dengung-dengungkan, aku hanya butuh tatapan milikmu itu hanya ditujukan
kepadaku. Sudahlah, tak usah banyak berfikir tentang masa lalumu, yang sering
kau singgung begitu penuh luka. Hidupku juga penuh luka.
Aku
mulai mengerti ayahku tak pernah menyentuh ibuku lagi sejak aku tahu apa itu
suami-istri. Dan ketika teman-temanku mulai mengejekku karena ibuku adalah
istri kedua dari ketiga istri ayahku, aku memutuskan untuk tidak pernah lagi
berairmata. Bahkan bias dihitung dengan jari berapa kali aku berbicara dengan
ayah. Sementara ibuku, mengulum senyumnya (yang aku tahu palsu) setiap aku
menyebut kata “ayah”.
Kau
juga tidak tahu, kalau kehidupanku tidak seberuntung dirimu yang mampu lulus
STAN dan SPMB sekaligus. Aku tak lulus keduanya. Padahal, sekali lagi, aku
bukan perempuan bodoh. Dalam 3 tahun pendidikan SMA, setidaknya tak pernah
sekali pun aku keluar dari 10 besar, dibandingkan dirimu yang pernah menduduki
ranking 24 ketika kelas 1 SMA. Aku hanya sial. Tidak beruntung. Ketika teman-temanku
yang sama nasibnya mulai menjajaki pendidikan swasta di universitas, aku
memutuskan pergi sendiri ke Jakarta (dari Yogyakarta), berbekal alamat kakak
sepupu. Dan bekerja.
Yang
pasti, aku tak ingin bernasib sama dengan ibuku. Aku tak mau diduakan. Begitu
tega Tuhan yuang berkuasa membolak-balikkan hati manusia, membuatku mencintai
dia. Jika manusia berkuasa mengubah nasibnya sendiri, izinkan aku dicintai
olehmu. Biar nanti, aku tahu aku akan bahagia bila hidup denganmu.
“Sebentar
lagi akan sampai…”
Secepat itu?
“Rumahnya
ada di belakang mesjid ini.”
Ponselku
bergetar lagi. Dia. Dewi,Mas kedinginan.
Sebuah pesan singkat yang benar-benar singkat. Bahkan tak ada pertanyaan
darinya sedang apa aku sekarang, bersama siapa, dan apakah aku juga
kedinginan? Tak ada. Kenapa aku emncintai laki-laki seegois dia. Kenapa harus
dia yang datang mengisi kekosongan itu?
Aku
menatapmu. Aku membayangkannya. Kalian berdua sama-sama menyukai Hegel,
membicarakan Descartes, membandingkan Goenawan Muhammad dan Saut Situmorang,
atau membanggakan Umbu Landu Paranggi yang bahkan belum pernah kalian temui.
Kau pelabuhan dan dia menara. Kau bertindak begitu hati-hati, terlampau
hati-hati. Dia berani mengatakan apa-apa yang dia rasakan, melakukan apa-apa
yang dia yakini.
“Jo?”
Tentu
kau mengenalnya. Kau bahkan pernah bilang cinta kami platonic. Tapi, kau juga
tidak mengakui bahwa cintamu kepadaku platonic. Love does not consist in gazing at each other but in looking outward
in the same direction. Kau diam,
lalu seperti mengguman. Aku tak mau dikutuk sumpahi Eros.
“Kau
tahu hal apa yang paling membahagiakan sekaligus paling menyakitkan di dunia
ini, Krisandi?”
Aku
menggeleng.
“Mencintai.”
“Mencintai?”
‘Ya
mencintai, sementara kau tahu orang yang kau cintai telah emncintai orang
lain.” Hujan berhenti. Langkahmu juga terhenti
“Kita
sampai…”
Aku
ingin menjawab, tapi kau buru-buru memalingkan muka. Memencet bel. Dan dua
orang temanmu yang berjilbab lebar keluar, membukakan pintu dan pagar. Kalian
berbincang sebentar. Kau bilang menitipkanki semalam. Lalu berpamitan.
Aku
seharusnya tahu ketika malam itu kau berpaling, kemudian berlari-lari kecil
emnghindari genangan air di sepanjang jalan, tanpa memlukku, mengelus kepalaku,
atau bahkan menyalami telapak tanganku, kau telah tak lagi bersikap sama.
Pelan-pelan menghindar dan membiarkan cinta yang tak sempat kau ucapkan itu
menguap, gugur seperti kelopak-kelopak krisan yang layu di hatiku.
Komentar
Posting Komentar